[An English translation of this article is needed. If you are able to assist please contact sievx.com]


Menguak Imigran Gelap (1)
Jalan Terjal ke Negeri Impian
Reporter: Arif Sodhiq
detikcom
6 December 2001

Jakarta: Merayakan hari Lebaran di negeri orang! Itulah yang akan dirasakan pasangan Moksen Masood (42) dan Angez Masood (41) bersama tiga orang anaknya. Keluarga asal Afghanistan itu tiba di Indonesia setahun yang lalu. Saat ini, mereka tinggal di Hotel Damai, Jl. Denpasar, Bali.

Menurut pengakuan Masood, keluarganya meninggalkan Afghanistan karena tak tahan hidup di negara itu. "Taliban atau Aliansi Utara yang berkuasa bagi kami sama saja. Kami akan dikejar dan dibunuh," jelas Masood dalam bahasa Inggris yang lancar.

Untuk 'kabur' dari Afghanistan, Masood harus membayar USD 7000 per kepala. Atau, USD 35000 untuk dirinya, istri dan 3 orang anaknya kepada agen. Setelah membayar uang dan persyaratan lainnya (paspor ditahan agen), Masood diberangkatkan ke Malaysia kemudian menuju Medan. "Perjalanan kami difasilitasi sebuah agen di Pakistan," kata pendukung Partai Nasional Demokratik itu.

Dari Medan, mereka menuju Jakarta dengan menggunakan bus. Setiap rute perjalanan ditangani agen yang berbeda. Impian Moksen menuju Selandia Baru kandas ketika ditangkap pihak imigrasi Denpasar dalam perjalanan Jakarta-Denpasar.

Apa yang dipaparkan Masood hanyalah sepenggal kisah kelam perjalanan imigran gelap menuju negeri impian. Negara favorit yang menjadi tujuan mereka antara lain, Australia dan Selandia Baru. Masood dan imigran lainnya menganggap negeri Kanguru itu sebagai tempat yang akan mengubah kehidupannya.

Penanganan imigran gelap ibarat simalakama. Bila ditangani asal- asalan akan menuai kecaman dari negara lain. Sedangkan formula penanganan yang efektif sampai saat ini masih dalam proses pencarian karena melibatkan banyak pihak seperti kepolisian, imigrasi dan TNI AL dan Pemda. Dari waktu ke waktu jumlahnya terus bertambah.

Tak bisa dipungkiri, pemerintah Indonesia cukup kerepotan dengan masalah itu. Terutama, bila dikaitkan dengan masalah anggaran yang harus dikeluarkan untuk akomodasi dan tempat tinggal. Dari data yang dikumpulkan dalam perjalanan "Napak Tilas Penyelundupan Manusia yang diadakan Perspektif Online pekan lalu, tampaknya belum adanya standar baku yang ditetapkan pusat sehingga penanganan di imigran gelap di tiap-tiap daerah berbeda. Selain itu, Indonesia juga masih dipusingkan dengan pengungsi di dalam negeri akibat terjadinya konflik di sejumlah daerah.

IOM dan UNHCR

Persoalan imigran gelap yang dikaitkan dengan people smuggling (penyelundupan manusia) tidak bisa dipisahkan dari International Organization for Imigration (IOM), UNHCR dan pemerintah setempat.

Setelah menangkap imigran gelap, pihak kepolisian akan menghubungi IOM. Dalam pandangan IOM, mereka adalah irregular imigran karena yang berwenang menentukan status mereka adalah UNHCR. Persoalan awal yang muncul ketika proses penyerahan dari tangan polisi ke IOM.

Proses itu bisa berlangsung cepat atau sebaliknya. Pihak kepolisian tentu berharap IOM segera menangani imigran gelap yang tertangkap karena keterlambatan berarti pembengkakan anggaran. Salah satu contohnya yang dialami Polda Jatim.

"Pihak IOM yang kami hubungi (setelah penangkapan imigran) tidak bisa langsung datang. Kami harus menunggu beberapa hari karena IOM di Jatim tidak ada, yang ada di Denpasar," ujar Kadit Intel Polda Jatim Kombes Suhartono. Menurut Suhartono, Polda Jatim dan Kanwil imigrasi telah mengeluarkan Rp 20 juta selama menunggu kedatangan IOM.

Namun, menurut salah seorang staf IOM Denpasar, keterlambatan itu disebabkan karena pihaknya sedang mengurusi imigran di NTT. "Kebetulan hari itu ketika ditelepon kita sudah ada agenda untuk meyelesaikan imigran di NTT," jelas dia.

Salah satu cara untuk menangani imigran gelap adalah dengan menggunakan UU No.9 tahun 1992. Namun, kendala yang kerap terjadi, mereka tidak diakui di negara asalnya sedangkan negara lain menolaknya. "Saat pertama kali menangani imigran gelap (1 Februari 2001) mestinya mereka dideportasi. Tapi mereka nggak mau dengan alasan takut dibunuh dan pemerintah mereka tidak mau menerima," jelas Suhartono.

Selama mereka berada di Indonesia tanpa status yang jelas (ditetapkan sebagai pengungsi oleh UNHCR atau ditangani IOM sebagai irregular imigrantion) akan merepotkan pemerintah. Selain masalah anggaran, juga dampak sosial yang melingkupinya seperti konflik dengan masyarakat sekitar. Sebut saja, kasus yang terjadi di Cisarua beberapa waktu yang lalu.

Dikatakan Suhartono, sebanyak 118 imigran gelap telah ditangani IOM. Mereka ditempatkan di Hotel Baru (55) mulai 8 Agustus 2001 dan Asri (63) mulai 22 November 2001, Situbondo, Jatim. Sementara, 75 orang dikirim telah ke Jakarta sedangkan 12 orang melarikan diri dari karantina migrasi Tanjung Perak dengan cara menjebol karantina. Saat ini, karantina itu sedang dalam tahap renovasi.

Mengapa imigran gelap tidak menjadikan Bali sebagai tempat transit? Menurut Kapolda Bali Brigjen Pol Budi Setiawan karena operasi rutin yang selalu dilakukan jajarannya bersama instansi terkait. "Karena diobok-obok baik oleh kepolisian, imigrasi dan Pemda. Selain itu disini banyak restoran daging babi sehingga tidak cocok bagi imigran gelap asal Timur Tengah. Secara alamiah ini sudah menangkal," kata Budi.

Meski demikian bukan berarti Polda Bali tidak pernah berurusan dengan imigran. Data Polda Bali menyebutkan ada 106 orang yang pernah ditangani. Mereka berasal dari Pakistan, Afghanistan, Iran, Saudi Arabia, Yordania, Irak dan Irlandia.

Dari jumlah itu, 33 orang penanganannya telah diambil alih IOM dan UNHCR (33 orang) sedangkan 3 orang lainnya dideportasi. Imigran gelap yang ditolak masuk Bali, tidak diproses dan diserahkan ke Polres Lombok Timur sebanyak 70 orang. Operasi yang digelar itu tidak hanya untuk mendeteksi imigran gelap tetapi juga berkaitan dengan orang asing yang ijinnya sudah overstay. Dari berbagai kasus yang ditangani itu, Polda Bali belum pernah mengungkap jaringan imigran gelap.

Sekilas IOM

Tahun 1951 atas prakarsa Belgia dan Amerika diadakan sidang konferensi pengungsian internasional di Brussel, Belgia. Konferensi itu menghasilkan PICMME (Komite Antar Pemerintah Sementara untuk Pergerakan Pengungsi dari Eropa).

Dalam perkembangannya, PICMME berubah menjadi ICEM (Komite Antar Pemerintahan untuk Pengungsi Eropa). Sampai tahun 1960, tercatat sebanyak 1 juta pengungsi telah mendapat bantuan langsung dari ICEM.

Perubahan nama kembali terjadi tahun 1980. Dewan ICEM mengganti nama organisasi menjadi Komite Antar Pemerintahan untuk Pengungsian (ICM) sebagai penghargaan atas peranannya dalam mengurusi masalah pengungsian. Selanjutnya, pada tahun 1989, ICM menjadi organisasi internasional untuk pengungsian (IOM) atas amandemen dan ratifikasi konvensi 1953.

Dalam kiprahnya, IOM turut membantu proses pemulangan 800 ribu orang Kurdi, Irak yang terlantar akibat pergolakan yang terjadi di negeri itu. Selain itu, IOM juga memberi bantuan medis dan logistik kepada penduduk yang terlantar di bekas Republik Yogoslavia.

Sampai tahun 2000, IOM telah membantu 11 juta pengungsi. Pada tahun yang sama, IOM membantu 150 ribu orang Kosovo untuk pulang kembali ke negaranya. Kiprah lainnya, melakukan pemulangan melalui darat, laut dan udara kepada 140 ribu pengungsi Timtim.

Berdasarkan perjanjian kerja sama antara pemerintah RI dengan IOM disebutkan tugas IOM antara lain membantu pemerintah dengan menyediakan bantuan terhadap imigran gelap yang statusnya belum jelas. Selain itu, juga menyediakan transportasi ke negara lain atau kembali ke negaranya.

"IOM membantu pemerintah dan UNHCR dalam proses interview terhadap status imigran gelap," jelas Suhartono. Namun, tidak semua imigran gelap yang berada di Indonesia ditangani IOM. Mereka yang mempunyai skill akan diprioritaskan untuk dicarikan negara ketiga. Problemnya, siapa yang akan menanggung biaya imigran gelap lainnya. Bagaimana bila tidak ada negara ketiga yang mau menerima kehadiran mereka?

IOM Denpasar mengatakan pihaknya terus menangani imigran yang ada di Indonesia dengan bekerja sama dengan aparat kepolisian setempat. Saat ini, pihaknya menangani sebuah keluarga asal Afghanistan yang ditempatkan di Hotel Damai, Denpasar (keluarga Masood). Selain itu, di Kupang (410 imigran), Situbondo (118), Mataram (12), Bima (15), Sumbawa Besar (11) dan Ambon (11). (rif)

X-URL:http://jkt.detik.com/peristiwa/2001/12/06/2001126-055818.shtml

Back to sievx.com